Corynebacterium
diphtheriae
Sejarah
Sejarah difteri
merupakan cerita yang mencengangkan berkaitan dengan aplikasi penelitian dasar
untuk mengendalikan penyakit infeksi. Difteri pertama kali dibahas pada tahun
1826 dalam monograf yang ditulis oleh Pierre Bretonneau. Namun, pengetahuan
mengenai penyebab difteri cukup lengkap baru pada tahun 1888. Klebs menulis
mengenai bakteri khas yang diperoleh dari pseudomembran tenggorok pasien
difteri. Loeffler berhasil membuat biakan murni bakteri tersebut. Pemahaman
lengkap mengenai patogenesis difteri ditulis oleh Roux dan Yersin dari
eksotoksin larut yang diperoleh dari filtrat biakan (Joklik et
al., 1988).
Morfologi
Corynebacterium
diphtheriae berbentuk batang ramping, bersifat
Gram positif & tidak tahan asam, dan tidak membentuk spora. Panjang 1,5−5µm dan lebar 0,5−1,0µm. Corynebacterium
diphtheriae tampak mempunyai susunan berbentuk pagar ataupun berbentuk
V atau L. Susunan seperti huruf Cina di atas disebabkan oleh gerakan
“menggertak” (snapping) yang melibatkan dua sel yang membelah. Pada media yang
lengkap Corynebacterium diphtheriae tampak berbentuk seragam. Sementara
itu, pada media yang suboptimal – seperti Loeffler coagulated serum dan Pai’s
coagulated egg medium – sel-sel Corynebacterium diphtheriae tampak
berbentuk pleomorfik dan tidak teratur apabila diwarnai dengan metilen biru
ataupun toluidin biru. Pembengkakan yang berbentuk seperti pentung, bentuk
manik-manik, dan bentuk seperti batang (barred form) merupakan bentuk yang
lazim dijumpai. Granula metakromatik (Babes-Ernst) – yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya bentuk manik-manik − merupakan timbunan polifosfat yang
terpolimerisasi (polymerized polyphosphate) (Joklik et al., 1988).
Fisiologi
Ciri-Ciri Biakan
Corynebacterium
diphtheriae dapat bersifat aerobik ataupun anaerobik
fakultatif. Meskipun demikian, Corynebacterium diphtheriae tumbuh
lebih bagus dalam keadaan aerobik. Pada Loeffler
coagulated serum medium koloni Corynebacterium diphtheriae tampak
putih keabu-abuan, kecil, dan berkilauan. Koloni ini dapat dilihat setelah 12−24
jam inkubasi pada suhu 37oC. Medium Loeffler ini tidak membantu
pertumbuhan Streptococci dan Pneumococci yang biasanya terdapat pada spesimen
klinis (Joklik et al., 1988).
Penambahan garam
telurit akan mengurangi jumlah kontaminan. Pada media telurit koloni Corynebacterium
diphtheriae berwarna hitam ataupun abu-abu dan berdasarkan tipe
koloninya dapat dibedakan menjadi tiga tipe yakni tipe gravis, mitis,
dan intermedius. Ciri-ciri koloni tipe gravis adalah
besar, berwarna abu-abu sampai dengan
hitam, dan mempunyai permukaan yang tidak mengkilap. Tipe mitis mempunyai
ciri-ciri koloni berukuran menengah (lebih kecil daripada tipe gravis), lebih
hitam, lebih cembung, dan mengkilap. Koloni tipe intermedius
berbentuk sangat kecil, halus, ataupun kasar. Tidak ada hubungan yang tetap
antara keparahan penyakit dan tipe koloni (Joklik et al., 1988).
Struktur
Antigenik
Ada dua antigen
penting pada Corynebacterium diphtheriae yakni antigen K dan antigen O.
Antigen K bersifat tidak stabil pada pemanasan (heat-labile) dan terletak
pada lapisan superfisial dinding bakteri. Antigen O bersifat stabil pada
pemanasan (heat-stable) dan merupakan polisakarida yang mengandung
arabinogalaktan. Antigen O bertanggung jawab terhadap reaktivitas-silang dengan
Mycobacteria dan Nocardia (Joklik et al., 1988).
Determinan
Patogenisitas
Ada beberapa faktor
yang menentukan patogenisitas Corynebacterium diphtheriae.
Faktor-faktor tersebut adalah cord factor, produksi toksin,
neuraminidase, dan N-acetylneuraminate lyase. Aktivitas farmakologik cord
factor Corynebacterium diphtheriae menyerupai aktivitas farmakologik cord
factor Mycobacterium tuberculosis.
Pada tikus cord factor menyebabkan
kerusakan mitokondia, pengurangan respirasi & fosforilasi, dan kematian
(Joklik et al., 1988).
Infeksi
Klinis
Epidemiologi
Manusia merupakan
satu-satunya hospes alamiah Corynebacterium diphtheriae. Carrier
asimptomatik dan manusia dalam masa inkubasi difteri merupakan sumber utama
infeksi. Habitat utama Corynebacterium diphtheriae adalah saluran
pernapasan atas. Mekanisme penularan lazim melalui droplet infection. Selain
menyerang saluran pernapasan, Corynebacterium diphtheriae juga
dapat menyerang kulit (Joklik et
al., 1988).
Manifestasi
Klinis
Saluran Pernapasan
Manifestasi klinis
bervariasi tergantung pada virulensi bakteri, ketahanan hospes, dan lokasi
lesi. Pada difteri tonsil gejala klinis timbul mendadak, demam ringan, malaise,
dan sakit tenggorokan ringan. Kelenjar limfe leher menjadi edematus dan sakit
terutama apabila nasofaring juga ikut terkena. Kelenjar limfe leher yang
membesar ini memberikan gambaran seperti leher sapi jantan (bullneck
appearance). Penyebaran infeksi dari nasofaring ke trakea dan laring
dapat menimbulkan obstruksi jalan pernapasan (Joklik et al., 1988).
Salah satu ciri
khas difteri adalah membran keabu-abuan dan liat yang terbentuk pada
tenggorokan sebagai respons terhadap infeksi. Membran ini berisi fibrin,
jaringan mati, dan sel-sel bakteri dan dapat menyebabkan penutupan saluran
pernapasan (Tortora et al., 1995).
Bukan Saluran Pernapasan
Meskipun difteri
biasanya menyerang saluran pernapasan atas, lesi primer ataupun sekunder dapat
terjadi pada bagian tubuh yang lain. Bagian tubuh lain yang dapat terkena
adalah kulit (paling sering), konjungtiva, kornea, dan telinga (Joklik et
al., 1988).
Diagnosis
Laboratorium
Pewarnaan yang
dipergunakan untuk identifikasi Corynebacterium diphtheriae adalah
Pewarnaan Neisser. Pada Pewarnaan Neisser granula metakromatik tampak sebagai
bentukan berwarna biru gelap atau biru hitam dalam sitoplasma bakteri yang
berwarna kuning coklat.
Media yang
paling sering dipakai untuk membiakkan Corynebacterium diphtheriae adalah
agar miring Pai.
Spesimen untuk
identifikasi Corynebacterium diphtheriae tergantung kepada bagian tubuh yang
terinfeksi. Spesimen yang paling sering diambil adalah hapusan tenggorok (throat
swab).
Untuk menentukan
apakah suatu jenis Corynebacterium diphtheriae dapat memproduksi toksin difteri,
dua macam tes yakni tes virulensi in vivo (memakai binatang percobaan)
dan tes in vitro (memakai lempeng agar) dapat dilakukan (Bonang et
al., 1982).
Sedikit
Mengenai Granula Metakromatik
Granula metakromatik
sangat mungkin (probably) berfungsi sebagai cadangan energy (reserve
energy source). Selain dengan Pengecatan Neisser, granula metakromatik
juga dapat dilihat dengan Pengecatan Difteria Albert (Albert’s Diphtheria Stain/Albert’s
Differential Stain) dan Pengeactan Metilen Biru Alkalin Loeffler (Loeffler’s
Alkaline Methylene Blue Stain for Metachromatic Granules). Pada Pengecatan
Difteria Albert granula metakromatik tampak sebagai titik berwarna sangat ungu
(purple)
di dalam sitoplasma yang hijau sekali. Sementara itu, pada Pengecatan Metilen
Biru Alkalin Loeffler, granula metakromatik akan terwarnai sangat biru dan
sitoplasmanya tercat biru muda (Beishir, 1991).
Terapi
Terapi meliputi
pemberian antitoksin dan antibiotika. Antibiotika pilihan adalah penisilin G.
Antibiotika lain yang dapat diberikan adalah eritromisin. Antibiotika sangat
bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder dan pengobatan carrier kronis (Joklik et al., 1988).
DAFTAR
PUSTAKA
Beishir L., 1991. Microbiology
in Practice: A Self-Instructional Laboratory Course. 5th
Edition, New York: HarperCollinsPublishers,
pp 251−257.
Bonang G, Koeswardono ES, 1982. Mikrobiologi
Kedokteran Untuk Laboratorium dan
Klinik.
Edisi I, Jakarta: Penerbit PT Gramedia, hlm 97−99.
Joklik WK, Willett HP, Amos DB,
Wilfert CM, 1988. Zinsser Microbiology. 19th Edition,
Connecticut: Prentice-Hall
International Inc., pp 414−420.
Tortora GJ, Funke BR, Case CL,
1995. Microbiology An Introduction. 5th Edition,
California: The Benjamin/Cummings
Publishing Company, Inc., pp 590−591.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar