Jumat, 20 Juni 2014

Corynebacterium diphtheriae

Corynebacterium diphtheriae

Sejarah
Sejarah difteri merupakan cerita yang mencengangkan berkaitan dengan aplikasi penelitian dasar untuk mengendalikan penyakit infeksi. Difteri pertama kali dibahas pada tahun 1826 dalam monograf yang ditulis oleh Pierre Bretonneau. Namun, pengetahuan mengenai penyebab difteri cukup lengkap baru pada tahun 1888. Klebs menulis mengenai bakteri khas yang diperoleh dari pseudomembran tenggorok pasien difteri. Loeffler berhasil membuat biakan murni bakteri tersebut. Pemahaman lengkap mengenai patogenesis difteri ditulis oleh Roux dan Yersin dari eksotoksin larut yang diperoleh dari filtrat biakan (Joklik et al., 1988).

Morfologi
Corynebacterium diphtheriae berbentuk batang ramping, bersifat Gram positif & tidak tahan asam, dan tidak membentuk spora. Panjang 1,5−5µm dan lebar 0,5−1,0µm. Corynebacterium diphtheriae tampak mempunyai susunan berbentuk pagar ataupun berbentuk V atau L. Susunan seperti huruf Cina di atas disebabkan oleh gerakan “menggertak” (snapping) yang melibatkan dua sel yang membelah. Pada media yang lengkap Corynebacterium diphtheriae tampak berbentuk seragam. Sementara itu, pada media yang suboptimal – seperti Loeffler coagulated serum dan Pai’s coagulated egg medium – sel-sel Corynebacterium diphtheriae tampak berbentuk pleomorfik dan tidak teratur apabila diwarnai dengan metilen biru ataupun toluidin biru. Pembengkakan yang berbentuk seperti pentung, bentuk manik-manik, dan bentuk seperti batang (barred form) merupakan bentuk yang lazim dijumpai. Granula metakromatik (Babes-Ernst) – yang bertanggung jawab terhadap terjadinya bentuk manik-manik − merupakan timbunan polifosfat yang terpolimerisasi (polymerized polyphosphate) (Joklik et al., 1988).

Fisiologi
             Ciri-Ciri Biakan
Corynebacterium diphtheriae dapat bersifat aerobik ataupun anaerobik fakultatif. Meskipun demikian, Corynebacterium diphtheriae tumbuh lebih bagus dalam keadaan aerobik. Pada  Loeffler coagulated serum medium koloni Corynebacterium diphtheriae tampak putih keabu-abuan, kecil, dan berkilauan. Koloni ini dapat dilihat setelah 12−24 jam inkubasi pada suhu 37oC. Medium Loeffler ini tidak membantu pertumbuhan Streptococci dan Pneumococci yang biasanya terdapat pada spesimen klinis (Joklik et al., 1988).
Penambahan garam telurit akan mengurangi jumlah kontaminan. Pada media telurit koloni Corynebacterium diphtheriae berwarna hitam ataupun abu-abu dan berdasarkan tipe koloninya dapat dibedakan menjadi tiga tipe yakni tipe gravis, mitis, dan intermedius.  Ciri-ciri koloni tipe gravis adalah besar,  berwarna abu-abu sampai dengan hitam, dan mempunyai permukaan yang tidak mengkilap. Tipe mitis mempunyai ciri-ciri koloni berukuran menengah (lebih kecil daripada tipe gravis), lebih hitam, lebih cembung, dan mengkilap. Koloni tipe intermedius berbentuk sangat kecil, halus, ataupun kasar. Tidak ada hubungan yang tetap antara keparahan penyakit dan tipe koloni (Joklik et al., 1988).

Struktur Antigenik
Ada dua antigen penting pada Corynebacterium diphtheriae yakni antigen K dan antigen O. Antigen K bersifat tidak stabil pada pemanasan (heat-labile) dan terletak pada lapisan superfisial dinding bakteri. Antigen O bersifat stabil pada pemanasan (heat-stable) dan merupakan polisakarida yang mengandung arabinogalaktan. Antigen O bertanggung jawab terhadap reaktivitas-silang dengan Mycobacteria dan Nocardia (Joklik et al., 1988).

Determinan Patogenisitas
Ada beberapa faktor yang menentukan patogenisitas Corynebacterium diphtheriae. Faktor-faktor tersebut adalah cord factor, produksi toksin, neuraminidase, dan N-acetylneuraminate lyase. Aktivitas farmakologik cord factor Corynebacterium diphtheriae menyerupai aktivitas farmakologik cord factor Mycobacterium tuberculosis.
Pada tikus cord factor menyebabkan kerusakan mitokondia, pengurangan respirasi & fosforilasi, dan kematian (Joklik et al., 1988).

Infeksi Klinis
Epidemiologi
Manusia merupakan satu-satunya hospes alamiah Corynebacterium diphtheriae. Carrier asimptomatik dan manusia dalam masa inkubasi difteri merupakan sumber utama infeksi. Habitat utama Corynebacterium diphtheriae adalah saluran pernapasan atas. Mekanisme penularan lazim melalui droplet infection. Selain menyerang saluran pernapasan, Corynebacterium diphtheriae juga dapat menyerang kulit  (Joklik et al., 1988).
Manifestasi Klinis
Saluran Pernapasan
Manifestasi klinis bervariasi tergantung pada virulensi bakteri, ketahanan hospes, dan lokasi lesi. Pada difteri tonsil gejala klinis timbul mendadak, demam ringan, malaise, dan sakit tenggorokan ringan. Kelenjar limfe leher menjadi edematus dan sakit terutama apabila nasofaring juga ikut terkena. Kelenjar limfe leher yang membesar ini memberikan gambaran seperti leher sapi jantan (bullneck appearance). Penyebaran infeksi dari nasofaring ke trakea dan laring dapat menimbulkan obstruksi jalan pernapasan (Joklik et al., 1988).
Salah satu ciri khas difteri adalah membran keabu-abuan dan liat yang terbentuk pada tenggorokan sebagai respons terhadap infeksi. Membran ini berisi fibrin, jaringan mati, dan sel-sel bakteri dan dapat menyebabkan penutupan saluran pernapasan (Tortora et al., 1995).
Bukan Saluran Pernapasan
Meskipun difteri biasanya menyerang saluran pernapasan atas, lesi primer ataupun sekunder dapat terjadi pada bagian tubuh yang lain. Bagian tubuh lain yang dapat terkena adalah kulit (paling sering), konjungtiva, kornea, dan telinga (Joklik et al., 1988).

Diagnosis Laboratorium
Pewarnaan yang dipergunakan untuk identifikasi Corynebacterium diphtheriae adalah Pewarnaan Neisser. Pada Pewarnaan Neisser granula metakromatik tampak sebagai bentukan berwarna biru gelap atau biru hitam dalam sitoplasma bakteri yang berwarna kuning coklat.
Media yang paling sering dipakai untuk membiakkan Corynebacterium diphtheriae adalah agar miring Pai.
Spesimen untuk identifikasi Corynebacterium diphtheriae tergantung kepada bagian tubuh yang terinfeksi. Spesimen yang paling sering diambil adalah hapusan tenggorok (throat swab).
Untuk menentukan apakah suatu jenis Corynebacterium diphtheriae dapat memproduksi toksin difteri, dua macam tes yakni tes virulensi in vivo (memakai binatang percobaan) dan tes in vitro (memakai lempeng agar) dapat dilakukan (Bonang et al., 1982).

Sedikit Mengenai Granula Metakromatik
Granula metakromatik sangat mungkin (probably) berfungsi sebagai cadangan energy (reserve energy source). Selain dengan Pengecatan Neisser, granula metakromatik juga dapat dilihat dengan Pengecatan Difteria Albert (Albert’s Diphtheria Stain/Albert’s Differential Stain) dan Pengeactan Metilen Biru Alkalin Loeffler (Loeffler’s Alkaline Methylene Blue Stain for Metachromatic Granules). Pada Pengecatan Difteria Albert granula metakromatik tampak sebagai titik berwarna sangat ungu (purple) di dalam sitoplasma yang hijau sekali. Sementara itu, pada Pengecatan Metilen Biru Alkalin Loeffler, granula metakromatik akan terwarnai sangat biru dan sitoplasmanya tercat biru muda (Beishir, 1991).

Terapi
Terapi meliputi pemberian antitoksin dan antibiotika. Antibiotika pilihan adalah penisilin G. Antibiotika lain yang dapat diberikan adalah eritromisin. Antibiotika sangat bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder dan pengobatan carrier kronis  (Joklik et al., 1988).


DAFTAR PUSTAKA
Beishir L., 1991. Microbiology in Practice: A Self-Instructional Laboratory Course. 5th
            Edition, New York: HarperCollinsPublishers, pp 251−257.
Bonang G, Koeswardono ES, 1982. Mikrobiologi Kedokteran Untuk Laboratorium dan
            Klinik. Edisi I, Jakarta: Penerbit PT Gramedia, hlm 97−99.
Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, 1988. Zinsser Microbiology. 19th Edition,
            Connecticut: Prentice-Hall International Inc., pp 414−420.
Tortora GJ, Funke BR, Case CL, 1995. Microbiology An Introduction. 5th Edition, 

            California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., pp 590−591.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar